BAGI PARA SAHABAT YANG INGIN MENGAPLOAD FOTO-FOTO KARYA DAN YANG LAINYA BOLEH LANGSUNG KIRIM KE gedungf@gmail.com, MA ACIH YA...

Menjadi Guru Seni Rupa yang Seniman


Menjadi Guru Seni Rupa yang Seniman
oleh Fadjar Sutardi, indonesian art news
Karya rupa anak-anak komunitas AFC (Art for Children), Yogyakarta, yang didisplai dalam Pameran Seni Rupa Anak di Galeri Nasional Indonesia, 2010. (foto: kuss indarto)
Pendahuluan
Dengan Seni Hidup terasa Indah
Dengan Ilmu Hidup terasa Mudah
Dengan Agama Hidup terasa Berkah
(Dr. H.A. Mukti Ali)

PADA hakikatnya manusia memiliki “watak dasar” yang unik dan khas, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Manusia dengan watak dasarnya tersebut di sepanjang hidupnya selalu mencari, membutuhkan, mencintai dan ingin mengembangkan ilmu pengetahuan. Manusia berusaha meraih ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batinnya, mulai dari lahir ke dunia sampai menjelang ajal atau tua renta di sepanjang hidupnya. Dengan berbagai pengetahuan manusia berusaha untuk “memperkokoh dan memperkuat” akan makna hidup dan kehidupannya. Melalui bantuan akal pemberian anugerah Allah SWT, manusia mengelola pengetahuan dan mengetahui arah mana ia harus menambah dan mencari pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan dan asal muasal pengetahuan tersebut. Dengan segala suka dan duka pencarian pengetahuan dijalani dengan serius dan terkadang melelahkan. Berbagai pengetahuan mulai dari apa yang disebut dengan istilah bahasa, sains, sosiologi, psikhologi, politik, ekonomi, seni dan agama, menjadi tantangan manusia untuk menguasainya dan dengan peraihan pencarian berbagai pengetahuan tersebut, manusia merasakan kebahagiaan dan sekaligus perasaan mencemaskan.

Di antara salah satu tuntutan dari sekian ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh watak dasar manusia, khususnya rasa estetiknya adalah pengetahuan seni dan apresiasinya. Pengetahuan tentang seni dan apresiasi estetik ini dirasakan menjadi bagian penting bagi manusia di dalam kesehariannya. Dengan apresiasi estetik seni tersebut manusia dalam aktivitas hidupnya, selalu ingin menghias dirinya dan menghiasi pula hasil pekerjaannya dengan rasa keindahan, melalui keindahan suaranya, goresan tangannya, gerak tubuhnya dan keindahan dalam “menata” kata-kata dan kalimat yang ditulis serta diucapkannya. Tujuannya sebenarnya hanya sederhana, yaitu untuk menyenangkan dirinya, walau dari segi kemanfataannya terkadang tidak begitu dipikirkan. Hampir sebagian besar menusia, tidak dapat secara pasti dan tepat dalam menilai keindahan, akan tetapi ia selalu terus dapat menciptakannya. Dalam pengetahuan seni dan apresiasi estetiknya, manusia berusaha menunjukkan kepada sesamanya, bahwa ia memiliki derajat yang tinggi, memiliki apresiasi yang dalam dan imaginasi luar biasa (Titus, Smith, Nolan: 1984).

Berbagai cara dilakukan manusia dalam usaha mencari pengetahuan estetik tersebut. Titus, Smith, Nolan: 1984 menyebutkan, setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang mendasari hidupnya dengan keindahan tersebut; pertama, kelompok awam. Pada kelompok masyarakat awam ini pencarian pengetahuan apresiasi estetiknya, biasanya dilakukan dengan cara meniru apa yang diwariskan kakek-nenek mereka pada masa silam tanpa reserve, ia pegang kuat-kuat pengetahuan esetetik tersebut, ia yakini warisan pengetahuan itu, sehingga menjadi kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan pribadi-pribadi, dalam mencerap pengetahuan estetik cenderung menerima dengan samar-samar (irrasional), bila ditanyakan tentang makna pengetahuan warisan tersebut, mereka sulit menjelaskan dengan akalnya. Kedua, kelompok menengah. Pada kelompok masyarakat ini dalam mencari dan memaknai tentang pengetahuan estetik, bertujuan hanya sekitar pada azas kemanfaatannya, pada ranah kepraktisannya, tanpa mempertimbangkan sisi moral dan etika. Tujuan tertingginya untuk kenikmatan (pleasure). Citra moral dan etika, bukan menjadi ukuran, makna dan nilai-nilai dijungkirbalikkan, sehingga pengalaman estetiknya menjadi dangkal, dan hanya digunakan untuk gaya hidup (lifestyle). Manusia pada kelas menengah ini, hidupnya hanya mendapatkan kebahagiaan ilutif, kenikmatan semu, keindahan halusinatif, daya tarik psedorasionalnya dalam keseharian hidupnya hanya menghasilkan aura simbolik ecstasysme (Subandi Ibrahim: 2006). Ketiga, kelompok atas. Pada kelompok ini dalam pencarian pengetahuan estetiknya, bukan untuk hal-hal tersebut di atas, tetapi untuk tujuan yang lebih tinggi, bukan hanya sekadar meniru atau pun kenikmatan, tetapi untuk pencapaian “kasampurnaning urip” (kesempurnaan hidup). Senada dengan Titus Nolan, Al-Ghazali juga menyatakan bahwa, pengetahuan estetik yang dicari pada masyarakat kelompok atas ini, berfungsi sebagai media tawajjuh (ruang pertemuan, berdialog), yang membawanya ke dalam kondisi dan suasana mutmainah (damai, tentram, ketenangan), dalam rangka menyatukan dirinya kepada Sang Abadi, yang menciptakan keabadian. Senada dengan Ghazali, Rusbihan Al-Baqly (tokoh sufi) menyatakan bahwa kegunaan estetika (keindahan kesenian) berfungsi sebagai media tajarrud, yaitu untuk pembebasan jiwa dari ketertarikan berlebihan pada alam benda dan dunia, juga sebagai media tazkiyatun nafs (pensucian jiwa) dari sikap-sikap pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk itu sendiri. Sedangkan Ibnul Muqaffa’, Ibnu Sina, Al-Jahidz, Ibnu Athaillah, Mulla Sa’adi menyatakan bahwa pengetahuan esetika berguna untuk menjaga kearifan, kebijaksanaan, membantu sikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia di tengah-tengah lingkungan sosial yang beragam (Abdul Hadi WM, 236: 2004).

Dari tiga tingkatan kelompok manusia tersebut, bila dipahami dengan seksama menunjukkan adanya keberbedaan-keberbedaan dalam pencariannya, hal itu bisa muncul karena manusia adalah subyek yang bebas dan selalu berkembang, manusia tidak mau tenggelam dalam proses pencariannya atas kejadian-kejadian yang melingkunginya. Subyek yang mencari dan tanpa henti untuk menyempurnakan makna hidup dan kehidupannya, oleh Sigmund Freud menamakan dengan sebutan self (aku yang merdeka dan aku yang bebas). Dengan aku-nya, manusia mempunyai banyak pengalaman pribadi sesuai dengan tuntutan dirinya, dan “kesadaran dalam”nya (inner awareness). Hasil pengalaman dari ego yang bebas dan merdeka tersebut, manusia dapat memanfaatkan pengetahuan estetiknya untuk berkomunikasi dengan sesamanya, bahkan berkomunikasi dengan dirinya dari waktu ke waktu dengan pengalaman yang beragam, sehingga dalam pencarian estetik tersebut sering terjadi perbenturan kekacauan, kebingungan yang mengherankan bagi dirinya dan hampir tidak ada titik sambungnya. Keberbedaan-keberbedaan estetik tersebut sangat mengkin terjadi, karena manusia dalam berjalan untuk mencari pengetahuannya memang menemukan berbagai pengalaman psikhis yang berbeda-beda pula, kondisi yang membingungkan dan sekaligus mengherankan tersebut oleh Jean Paul Sartree dikatakan sebagai sebuah kondisi yang absurd, dilematis dan ironis. Sehingga andaikan tidak ada guru pembimbing atas pencarian pengetahuan yang beragam tersebut, dipastikan manusia akan mengalami stagnasi estetiknya.

Manusia membutuhkan “titik sambung” seorang Guru Pengetahuan Estetik

Dengan berbagai pengalaman dalam pencarian pengetahuan estetik yang beragam tersebut, ujung-ujungnya manusia akan mengalami keterpecahan, ketersepihan dan keterbelahan jiwanya. Hidup manusia tidak lagi merasakan adanya kenyamanan, ketidak tenangan dan tidak indah lagi. Menekuni keindahan yang dicarinya sendiri, justru menemukan rasa sumpek, panas, konflik, perasaan perang berkecamuk dalam diri masing-masing manusia secara kolektif. Syahdan, di sinilah manusia membutuhkan “contoh, keteladanan seseorang” yang mau mengajarkan (dengan memilih, memilah pencarian estetiknya) untuk memaknai keindahan sesuai dengan tujuan pencarian yaitu kebahagiaan hidupnya.

Konon, Tuhanpun merasakan kasihan kepada manusia yang mencari estetikanya tersebut, kemudian Dia turun tangan untuk “meredakan suasana sumpek manusia”, Tuhan akhirnya mengutus “guru kehidupan” (Nabi, Rasul) menjadi wakilNya, dengan tugas mulia, yaitu untuk “menentramkan” sekian milyar manusia yang hidup di muka bumi dengan segala persoalan etik, estetik dan politiknya. Manusia-manusia pilihan yang menjadi guru kehidupan tersebut memang turun langsung demi menyangga ketaatan kepada Tuhannya, kemudian menyatu dan terlibat berdarah-darah dengan modal dasar anugerah Allah, dengan mendapatkan “keindahan sempurna” dan mendapatkan pengetahuan estetika yang sempurna.

Para “guru kehidupan” tersebut mendapat cahaya (the enlightened one) dariNya untuk manusia. Manusia pilihan yang bakal menjadi guru “kesempurnaan hidup” dikokohkan pengetahuannya, agar manusia di bumi mendapatkan cahaya keindahan hidup dengan perasaan gembira, damai tiada tara. Para guru kehidupan yang bertugas mengajarkan pengetahuan tentang keindahan hidup tersebut jumlahnya tidak hanya ratusan, tetapi ribuan. Mereka adalah para Nabi dan Rasul. Para Nabi dan Rasul adalah manusia suci, mereka bisa bernama Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan sebagainya. Pengetahuan keindahan hidup sempurna yang ditebarkan para Nabi dan Rasul ini, kemudian “ditemukan kembali” orang-orang suci generasi utusan Tuhan, mungkin mereka bisa bernama Alexander Agung, Konfusius, Budha, Mahavira, Zoroaster, St. Paulus, Lao Tse, Umar bin Khattab, Ali bin Abu Thalib, St. Thomas Aquinas, Jalaludin Rumi, Mani, Gandhi, dan sebagainya. Orang-orang tersebut dengan dimensi-dimensi mata batin yang tajam, kemudian mengajarkan pengetahuan estetiknya dengan cara mengambil jalan dengan nama jalan tengah (middle way) di tengah-tengah orang banyak yang kacau dan bingung tersebut. Jalan tengah yang dimaksud, adalah berupa pengetahuan tentang dimensi kepekaan badaniah, kepekaan batin (felling), persepsi, konsepsi mental dan kesadaran akan makna hidup.

Pengajaran tentang pengetahuan jalan tengah, berjalan sepanjang zaman dari dan antar waktu kewaktu, berkembang bersama melalui berbagai media yang dibuat oleh para pewaris jalan tengah, seperti melalui media keagamaan, budi pekerti dan kesenian. Ketiga media itu ditegaskan oleh Sigmund Freud, dikatakan sebagai alat control kegiatan aku (self), agar manusia tidak mengalami gelisah (anxiety) dan perasaan bersalah (guilty).

Para guru pengetahuan keindahan, dengan suntuk dan total, dengan diikuti para sahabat dan murid-murid langsungnya, bersama-sama memahami ajaran ataupun doktrin “jalan tengah” yang diajarkan para guru dengan media yang dekat dengan dunia para murid, seperti antara lain melalui kesenian yang bernilai spiritual. Ia adalah, kesenian yang membentuk kebudian dan bersifat membangun konstruksi relegiusitas, yang ditebar-taburkan ke arah mana angin berhembus, ke arah mana matahari terbit dan ke arah mana malam mengabut, agar para murid, nantinya menjadi manusia yang mendapatkan pencerahan-pencerahan, yang pada akhirnya akan “ditular-wariskan” kepada siapa saja yang membutuhkan.

Omar Muhammad Al-Toumy Asy-Syaibany, mengatakan bahwa proses pengajaran pengetahuan jalan tengah tersebut bertujuan untuk membebaskan manusia dari belenggu taqlid buta (ikut-ikutan tetapi tidak tahu tujuannya) dan khayalan yang merusak, mendidik hati nurani dan membentuk kejiwaannya, secara ideal serta merealisasikan keadilan, ketentraman, kenyamanan hidup dan kebebasan akal sehat. Dan “titik-sambungnya” terus bergerak sesuai dengan putaran bumi berjalan, ada yang sampai puncak kedalaman pengetahuan atau sebaliknya ada yang hanya sampai pada permukaan. Inilah proses “mendidik dan mengajar” dengan pendekatan estetik,etik dan spiritualitas. Pendekatan ini akan melahirkan manusia yang kamil, yang sadar akan makna dan tujuan intinya.

Mungkinkah, Guru Seni Rupa Dapat Menjadi “Titik Sambung” Pengetahuan Keindahan Kehidupan Kepada Muridnya?

Seperti diterangkan sebelumnya, bahwa “para guru sejati” dalam mengajarkan pengetahuan keindahan sering menggunakan manfaat kesenian, sebagai medianya. Kesenian dalam hal ini dapat berupa seni rupa, musik, tari, teater, sastra, secara esensial sebenarnya sangat bermanfaat sebagai media ungkap “jalan tengah” untuk mengajarkan kehidupan kepada manusia muda dalam memahami dirinya, menajamkan indra-indranya, jiwa perasaannya, sehingga pada saatnya nanti manusia muda tersebut dapat menjadi manusia utama, berpengetahuan sempurna dan jiwanya “me-ruh” karena tercahayai kebenaran-kebenaran, yang bersumber dari pengalaman-pengalaman esetetiknya.

Nah, di sinilah tugas “para guru” kesenian yang notabene juga menjadi penerus (ahli waris) para Nabi, Rasul dan Ulama, diharapkan dapat berperan ikut serta dalam menempa dan membentuk manusia-manusia muda, agar memiliki pengetahuan estetik, agar dapat menikmati keindahan, ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga para manusia muda tersebut dapat merasakan dan memaknai hidup dengan penuh perasaan yang mendalam, mengerti kebudian dalam suasana batin yang dekat dengan cahaya Tuhan. Maka, “titik sambung” jalan tengah yang dilakukan para guru seni sudah semestinya akan berjalan dan tidak berhenti selamanya.

Muji Sutrisno (xvi: 2001), menyatakan secara teknis bahwa, sebaiknya dalam mengajarkan pengetahuan estetik kepada para murid, santri, cantrik dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, mengajar dengan pendekatan “live in”, artinya pengajar pengetahuan (guru, dosen, pengasuh, pembina, ustadz, kyai, mursid, kepala suku atau dengan sebutan apapun), harus secara terjun langsung siap hidup bersama dalam satu penghayatan akan pengetahuan tersebut bersama para murid, dengan tujuan untuk selalu siap dialog dalam perjalanan menajamkan dunia “dalam” tersebut, strategi pendekatan ini menolak model menggurui, memanipulasi pengetahuan dan memperalat para murid untuk hanya bertujuan memuaskan nafsu para guru. Kedua mengajar dengan pendekatan komunal, makna berkomunitas bagi murid menjadi hal yang diutamakan, sehingga para murid dapat berkembang perlahan-lahan, berproses secara alamiah, imajinasinya sehat, kreativitasnya sehat dan improvisasinya juga sehat dalam kebersamaan dan kebersahajaan, hal tersebut untuk menjaga agar suasana “edukasi” berjalan apa adanya dan tidak terkena hawa budaya lingkungan yang membuat trauma, mati, kaku, lemas, layu, tidak percaya diri, inferior dan tidak memberdayakan.

Rendra (41: 1984) dramawan besar, seorang Muslim yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri pada kesenian yang bernilai spiritualitas, mengajarkan (dalam hal ini teater), bahwa untuk memaknai pengetahuan estetik dalam kehidupan, para murid pekerja seni diharuskan dapat mencapai suasana pribadi yang utuh, mengenali sifat alamiah tubuh (pernafasan, indra-indranya, tangan kaki, otak dan hatinya) agar dapat mengharmonisasikan dirinya dengan daya tarik bumi, hal tersebut dapat dicapai dengan cara melakukan meditasi. Selain itu raga harus selalu relaks dan harmonis, berstamina, mudah dalam menguasai perasaan dengan tidak mematikan perasaan itu sendiri, tetapi diaturnya, agar kaya kepekaan, kaya nuansa, kaya variasi, kaya getaran-getaran dan kaya ledakan-ledakan, pendekatan dengan seringnya latihan konsentrasi.

Rabindranath Tagore (10: 1961) filosuf India, juga menyatakan, bahwa mengajarkan keindahan bukan bertujuan untuk menjadi manusia bermental pegawai kesenian murahan, yang hanya memuja materi dan kekayaan, tetapi bertujuan untuk memelihara persaudaraan dunia dengan pendekatan dalam suasana religius, etis dan estetis. Semboyannya adalah: “Jangan membawa pohon-pohonan ke dalam kelas, tetapi bawalah kelas ke dalam pohon-pohonan” di sanalah terdapat pengalaman tentang keindahan. Dengan cara ini, para murid memiliki kebebasan, percaya diri sendiri, bertanggungjawab pada keseimbangan alam, manusia dan Tuhan.

Ki Hadjar Dewantara (136: 1961) tokoh pendidikan Nasional berpendapat, bahwa pengajaran (termasuk di dalamnya keindahan: pen) bagi tiap-tiap bangsa, adalah bertujuan kepada pemeliharaan guna mengembangkan benih keturunan dari bangsa itu, agar sehat lahir batin. Untuk itu manusia-manusia muda harus dikembangkan jiwaraganya sesuai dengan adat-istiadat masyarakat. Pengajaran estetika Barat, tidak sesuai dengan tuntuntan jiwa masyarakat, karena pendidikan Barat (colonial) hanya bertujuan untuk kepentingan menjajah. Maka diperlukan Panca Dharma Pendidikan dan Pengajaran, yaitu; kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan dan kemanusiaan, dengan berpedoman pada jalan laku Ning, Nung, Neng, Nong, Nang, dan dengan strategi pengajaran; Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.

Berbagai pendapat di atas, pada intinya bahwa mengajar atau pun mendidik tentang pengetahuan esetetika adalah usaha menyampaikan pesan-pesan (message) kepada manusia muda, agar dalam menapaki hidup dan kehidupannya dapat mengenggam makna dan tujuan hidup, dengan relaks, harmonis, menjaga persaudaraan, mengutamakan etika, estetika dengan tetap menggunakan dasar-dasar kodrat manusia dengan alam lingkungannya.

Guru Seni Siap “Menjadi” atau Hanya “Sebagai” Guru Pengetahuan Keindahan?

Kata “menjadi” dan kata “sebagai” seperti pernyataan diatas menjadi penting dipertanyakan pada diri seseorang, ketika seseorang tersebut berkesanggupan untuk mengajarkan pengetahuan. Di zaman yang maju seperti dewasa ini, khusunya pada lapangan nyata dunia pendidikan yang diformalkan dan resmi, ternyata banyak para pengajar pengetahuan belum atau tidak memahami secara mendalam posisinya, ketika hidup bersama di tengah-tengah para murid, cantrik dan santrinya. Banyak orang yang mengajar menyampaikan pengetahuan, hanya memposisikan “sebagai” guru, tetapi belum merasakan “menjadi” guru pengetahuan. Orang yang memposisikan diri hanya “sebagai” guru pengetahuan, maka ia merasa sudah cukup dengan hanya mentransfer pengetahuan secara lisan ataupun tertulis, apa-apa yang didapat dari guru-gurunya dahulu, untuk kemudian di”copypaste”kan kepada muridnya. Atau mungkin hanya melaksanakan “perintah” kurikulum yang dijabarkan melalui SK,KD dengan kelengkapan prota,promes yang memang sangat formal dan membingungkan anak didik tersebut.

Dapat dibayangkan, suasana pengajaran pengetahuan tentang keindahan yang demikian, dipastikan kering, tidak interaktif, menakutkan, tidak cair, tidak harmoni dan pasti tidak rileks. Guru pengajaran yang demikian, dapat dikatakan bahwa, ia memang belum mampu mendalami pengetahuan tersebut sampai “mbalung sungsum”. Hal ini disebabkan karena tidak adanya eksperimen-eksperimen yang panjang sebelumnya, kurang referensi, gagap dan merasa cukup. Pengetahuan dan ajaran tentang keindahan untuk kesempurnaan hidup, makna hidup dengan pendekatan media ungkap kesenian (rupa, sastra, tari dan teater) akan mengalami kegagalan. Murid tidak akan mendapatkan apa-apa, kecuali catatan-catatan yang tidak dapat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya.

Tokoh Modern Pendidikan Dave Meier (27: 2005) menggambarkan bahwa guru pada dewasa ini banyak melakukan pengajaran yang bersuasana antagonistik dramatisme, suasana pembelajaran dan pengajaran dapat terbaca suasananya sebagai berikut: suasana kaku, muram, serius, satu jalur (ndlujur), verbal, membatasi ruang dan waktu, mementingkan kognitif (pengetahuan teoritik belaka), guru merasa lebih top dan terdepan, takut kalau tersaingi, behavioristik, seringnya mengontrol. Artinya, seorang guru memfungsikan dirinya hanya “sebagai” guru bukan “menjadi” guru.

Berbeda bagi orang yang mengajar dengan memposisikan dirinya “menjadi” guru, maka ia akan menata, mempersiapkan dirinya secara ikhlas, totalitas, dan selalu “full” hangat. Karena selain bertugas menyampaikan pengetahuan, ia sendiri sudah “merasakan” kemanfaatan pengetahuan tersebut, masuk ke dalam jiwa raganya dan sudah menjadi pilihannya dan bagian hidupnya. Hasilnya dapat dilihat, penampilannya cerdas, komunikatif, akrab, hangat, “all in” ruang dan waktunya, jujur, membangun suasana kebersamaan kapan saja dan dimana saja, tidak mengambil jarak, terlibat langsung, menyenangkan, gaul, dirindukan para murid, siap menerima “sharing”, tidak mudah melupakan murid begitu saja, dihormati, disegani, dan selalu menjadi tempat bertanya bagi murid-muridnya dalam kesehariannya. Dalam pengertian ini, guru tersebut juga memiliki kepribadian kebapakan dan kesenimanan.

Senada dengan hal tersebut, Utomo Dananjaya (29: 2005), memberikan masukan jitu bagi siapapun yang ingin memposisikan dirinya “menjadi” guru, antara lain suasana pembelajaran dan pengajaran dibangun dengan kontruksi kebersamaan, menyenangkan, menggembirakan, asah-asih-asuh, menyeluruh (holistik), kontekstual, multi-indra, silmultan, kongkret. Kesiapan guru, yang memang ingin “menjadi guru” diharapkan total-totalan lahir dan batinnya.

“Menjadi” guru dengan huruf “M” besar, memang berat dan hampir tidak dapat dilakukan, tetapi dengan tetap “berguru” kepada para guru dan kepada mahaguru untuk mengambil dan selalu menimba ilmu terus menerus, tentu akan melahirkan keberanian untuk belajar, karena secara kodrati manusia ditaqdirkan untuk mencari dan mengajarkan ilmu kepada siapapun, untuk meneguhkan dan mencerahkan kehidupan. Baik, kita simak dan renungkan Firman Allah dalam Al-Qur’an. QS: Al-Mujadilah: 11

11. Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Setting dari munculnya firman ini, terjadi ketika Nabi Muhammad sedang mengajarkan pengetahuan kepada para sahabatnya, diantara para sahabat tersebut, ada yang merasa gerah, sumpek, tidak faham-faham dengan suasana pengajaran yang disampaikan Nabi. Kondisi salah satu sahabat tersebut, oleh Allah diabadikan melalui firmanNya diatas.

Esensi ayat itu terbaca, bahwa siapapun yang mencari pengetahuan dengan didasari totalitas dirinya, maka posisi seseorang tersebut, menjadi tinggi derajatnya. Di sinilah peran manusia suci seperti Nabi benar-benar memposisikan diri “menjadi” guru pengetahuan yang teguh dan berwibawa. “Menjadi” guru pengetahuan melalui alat bantu berupa media ungkap kesenian (rupa, musik, tari dan teater), menjadikan seseorang yang berpredikat guru, akan memiliki sikap yang teguh, berkarakter, menjadi manusia paripurna (beriman), dan akan mendapatkan nilai lebih di kalangan murid-muridnya. Di tengah hidup dan kehidupannya selalu mendapat “nilai” derajat positif sepanjang jalan.

Berkaitan dengan suasana pengajaran tentang pengetahuan keindahan, Lao Tse (601 S.M), seorang ahli mistik China, mengatakan bahwa pengetahuan yang diajarkan para guru kepada manusia, bertujuan untuk melahirkan hidup selaras dengan Tao, siapa yang dapat menahan hawa nafsunya, siapa yang dapat melenyapkan nafsu serakahnya, dialah yang dapat mendengar Tao di dalam kalbunya sendiri. Maka, bagi pencari pengetahuan dan pengajar pengetahuan, haruslah dapat menahan egonya, nafsunya, supaya dalam mengemban pengetahuan dapat tercapai dengan sempurna.

Selaras dengan pernyataan Lao Tse, Budha mengatakan, jadilah guru pertapa, artinya menjadi guru yang berjiwa kerakyatan untuk membela rakyat jelata, sukalah mendekati rakyat, bukan mendekati kekuasaan, jangan suka memperlihatkan kelebihan-kelebihannya, menjadi guru berarti siap menjadi manusia biasa, guru bukan orang atasan, cita-citanya satu hanyalah memberdayakan manusia dengan menyumbangkan ilmunya di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.

Sebaiknya Menjadi Guru Seni Rupa yang Tidak Menggurui

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (377: 2000) disebutkan Guru ialah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar, profesinya mengajar. Senada dengan kata Guru, di Indonesia terdapat pula istilah lain yang memiliki tugas sama, seperti; Maha Guru, Resi, Empu, Kyai, Ustadz, Ajengan, Mulla, Ulama, Mursyid, Peter, Romo, Sayid, Guru Besar, Dosen dan sebagainya. Bila disarikan pada intinya Guru adalah orang yang diberi kelebihan akan ilmu, yang tidak hanya digunakan untuk diri sendiri, tetapi juga disebarkan, disampaikan kepada orang banyak. Mereka hidup hanya untuk mendalami ilmu, agar kehidupan manusia terjaga, berlangsung secara normal. Para Guru di atas, bertugas memberlangsungkan nilai-nilai kebenaran di muka bumi. Guru-guru ini memiliki watak jujur, keilmuannya tinggi, terbuka, rasa asih, mengayomi, dapat memecahkan masalah-masalah kejiwaan dan kehidupan.

Pengertian Guru pada lembaga formal dan resmi, Guru berusaha bekerja dengan profesional sesuai dengan bidang keilmuannya. Guru jenis ini selalu terpanggil lahir batinnya untuk mengajarkan ilmu-ilmu, agar pewarisan atau estafet keilmuan tidak putus di tengah jalan. Utomo Dananjaya (140: 2005) menuliskan tentang guru profesional yang diharapkan, antara lain; mengajar tidak lain bertujuan hanya untuk mencapai sasaran puncak membangun masyarakat yang berperikemanusiaan, yang menekankan perkembangan potensi-potensi individu sebagai makhluk mulia, mengajar adalah melayani dan menyediakan diri, untuk memecahkan masalah masing-masing individu atau kelompok secara rasional, mengajar berarti juga berani memilah dan mampu menghalau sistem sosial yang melanggengkan kepura-puraan dalam dunia pendidikan, yang mengakibatkan kemalasan belajar dalam merengkuh pengetahuan, jiwa pengajar adalah selalu memandang bahwa murid adalah manusia mulia, yang wajib diperlakukan secara terhormat.

Bila kata guru dikaitkan dengan kesenian, berarti seorang guru kesenian berkewajiban untuk mengajarkan pengetahuan seninya kepada muridnya secara menyeluruh, misalnya mulai dari pemahaman kesenian yang dikaitkan dengan pendidikan akhlak mulia, konsep seni secara utuh baik seni rupa, musik, tari, teater dan sastra, pengertian seni (apa dan untuk apa), aspek seni (pengetahuan tentang seni; unsur seni, prinsip seni, apresiasi, kreativitas, estetika, keterampilan) dan keberagaman jenis seni yang berkembang (Cut Kamari, 125: 1999)

Tidak hanya itu, guru kesenian juga berkewajiban untuk mendalami atau mentelaah kurikulum dari waktu ke waktu, model pembelajaran terpadu (rupa, musik, teater, tari dan sastra), rancangan pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan sebagainya.

Untuk merealisasikan hal-hal tersebut di atas, para guru kesenian berkewajiban menambah pengetahuan-pengetahuan, seperti; filsafat dan cabang-cabangnya, ilmu politik, sosiologi, psikhologi, ilmu-ilmu agama, ilmu bahasa, tata tulis, geografi, sejarah, antropologi, ilmu musik, praktik musik, pengetahuan dasar berteater, dasar-dasar tari, sastra, retorika, management, ekonomi, arsitektur, desain industri dan pertukangan. Banyak hal yang perlu diketahui bagi siapapun yang berkeinginan untuk “menjadi” guru seni rupa, karena dunia seni rupa sangatlah luas, selalu berkembang, percepatannya luar biasa. Bila tidak berusaha “membaca dunia luar”, seorang guru seni rupa akan ditinggalkan para muridnya.

Bagi guru kesenian yang memiliki talenta berkesenian, memiliki minat dan bakat, maka lengkaplah sudah misi-misi kesenian dalam suatu lembaga formal atau masyarakat. Guru tersebut dapat dipastikan, akan berperan dan berpeluang untuk maju kedepan, tampil secara meyakinkan baik dihadapan para murid dan santrinya, atau pun di lingkungan sekolah dan masyarakatnya. Keberhasilan memelihara talenta kesenian, bukan hanya terletak pada seringnya berpameran, menulis buku dan artikel kesenian, ceramah-ceramah tentang kesenian dan sebagainya, tetapi juga terletak pada pemeliharaan misi-misi kesenian, yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran tentang makna hidup dan kehidupan. Kehidupan terlalu rendah, bila hanya mengikuti alur hegemoni dominan. Aksi cultural melalui kesenian, dapat menjaga hidup dan kehidupan yang seimbang, ber-”aura”, kritis terhadap gerakan-gerakan dehumanisasi, sadar pada kebangkitan yang memihak kebenaran (Mansyur Faqih dalam Mulyono, xxxii: 1997). Inilah yang dimaksud dengan seniman sekaligus guru, yang tidak mengajarkan pengetahuan dengan menggurui.

Di lapangan pendidikan resmi, masih banyak guru ber-SK Negara, tetapi pemaknaan pengajarannya, belum menunjukkan kesungguhan dan totalitas yang berarti. Sementara dewasa ini, pengajaran “tidak resmi” yang di luaran terdominasi kebudayaan modern dan paradigmanya, yang mengarah pada ekspressi kesenian fabrikisasi yang mekanistik, dan berkecenderungan menuju pada industrialisasi seni, dengan strategi budayanya melalui pendekatan serba ilmiah, obyektif, bebas nilai, universal. Hegemoni dan dominasi ini akan mematahkan kesenian yang berangkat dari proses pembelajaran yang memerlukan mentalitas, kreativitas, motivasi, keterampilan serta kecerdasan masyarakat.

Untuk itu tugas “menjadi” guru pengajar pengetahuan keindahan sejati, sebenarnya sangatlah berat. Di pundak para guru yang “menjadi” inilah, melalui media ungkap kesenian yang sebenarnya dipertaruhkan. Karena sekali lagi, sebenarnya tujuan utama mengajarkan kesenian yang mengandung pengetahuan estetik ini, berfungsi sebagai media “pencerahan”, mat-matan nyawa, obat hati yang terluka bagi para murid, santri, cantrik dalam menapaki kehidupan yang carut marut ini. Sementara hari ini kesenian-kesenian instant, pabrikan, kodian telah mendominasi sistem pengajaran yang dikembangkan para pendahulu kita. Inilah modernisasi, globalisasi, liberalisasi kebudayaan. Kemudian, apakah kita benar-benar terpanggil untuk “menjadi” guru ajar keindahan bagi kemaslahatan manusia atau kita mengikuti gerak zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

LSBO Muhammadiyah, Sudah Seharusnya Sebagai Laboratorium Pengembangan Kesenian dalam Pendidikan Seni di Muhammadiyah

Muhammadiyah, menjadi besar karena meletakkan konsep gerakannya dengan model pengembangan pemikiran rasional dan sekaligus diaplikasikan praktik amalan langsung di tengah-tengah amal usahanya yang sebagian besar diabdikan pada pendidikan, di sini dapat ditegsakan bahwa gerakan tersebut tidak berhenti pada kajian teoritik. Inilah kekuatan “spiritual” Muhammadiyah. Muhammadiyah, yang pada awal berdirinya menjadi “rumah spiritual” masyarakat yang saat terkooptasi oleh “pembaratan yang kafir” oleh penjajah dan “pentimuran yang musrik” oleh para pengabdi Kejawen, Kesundan, Kendayak dan seterusnya. Dua tugas besar, Alhamdulillah berjalan atas karunia Allah selama seratus tahun, dengan dinamika perkembangan pemikiran dan pengamalan yang berbeda-beda, dan diharapkan ada “titik sambung”sampai generasi berikutnya, khususnya dewasa ini.

Sementara dalam rentangan perjalanan waktu yang seabad tersebut, tidak dapat dipungkiri lagi khususnya di dunia pemikiran kebudayaan/kesenian untuk pendidikan di kalangan Muhammadiyah, “titik sambung” tersebut terasa hilang. Rumah spiritual yang etik, estetik kini cepat atau lambat secara tak disadari telah tergantikan sesuatu yang serba rasional dan fiqiyah, tak ada rasa lagi kesenian yang kental. Para “pandega” Muhammadiyah mulai kehilangan arah dan barangkali khilaf, ketika di dalam “intern” Muhammadiyah masuk kelompok “gerakan luar yang menerobos kedalam” yang serba fiqiyah, yang dengan mudah mereka menyebarkan brain washing yang berbau fiqih saja, tanpa adanya pendalaman-pendalaman yang sesuai dengan gerakan intelektual Muhammadiyah. Di kalangan pendidikan Muhammadiyah masyarakat bawah dan pinggiran, ada beberapa kasus yang menarik untuk disikapi dan ditegaskan, misalnya ada seorang guru yang merasa menjadi ustadz (penandanya dengan peci Cina dan jenggot tebal) di kelas ketika sedang melaksanakan kegiatan belajar mengajar selalu “memainkan kata haram, bid’ah dan musrik” kepada anak didiknya, setelah ditelisik rupanya guru tadi mengikuti kajian keras, tanpa penyaringan kemudian disampaikan kepada muridnya. Sementara persoalan kesenian dan kebudayaan di dalam Muhammadiyah telah dibahas secara mendalam, dan sudah diterbitkan tentang masalah seni misalnya, rupanya “ustadz” tersebut orang yang mengaku Muhammadiyah, tetapi belum dewasa dalam ber-Muhammadiyah. Sehingga di sekolah Muhammadiyah tertentu, tak indah lagi suara rampag drumband yang mengharukan, karya kaligrafi yang menghiasi relung hati para siswa, musyabaqoh al-Qur’an yang diganti murottalan yang monoton, memang praktis tetapi tidak sampai masuk suntuk di jiwa. Seni rupa, tetap dianggap haram dengan modal teks hadits yang tak tahu illatnya, seni musik difatwakan oleh guru lain sebagai musik pemanggil syetan, seni tari dianggap perangsang seksual, seni teater bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, sastrawan dianggap calon penghuni Neraka, dengan sandaran teks firman Asy-Syuaaro’nya tanpa penafsiran yang luas.

Kenyataan inilah, di kalangan Muhammadiyah di pinggiran dan bawah sana telah terjadi gradasi yang berjalan secara pribadi-pribadi dalam menentukan arah pendidikan seutuhnya dan dijamin tidak menghasilkan pencerahan, tetapi justru meredupkan pendidikan di kalangan Muhammadiyah. Terutama di daerah-daerah, yang di sana muncul “ustadz-ustadz karbitan” yang bermodalkan celana “jigrang” dan jenggot tebal, serta kedodoran dalam membaca Qur’an tadi. Mereka mengaku Muhammadiyah, dan menjadi pengajar di Muhammadiyah, tetapi selalu membantah keputusan-keputusan Muhammadiyah pusat. Mereka ber-Muhammadiyah, tetapi bukan Muhammadiyahnya Achmad Dahlan, mereka katanya ber-Muhammadiyah seperti apa yang disunnahkan nabi Muhammad SAW dan bukan yang digerakkan Kyai Achmad Dahlan.

Contoh kasus seperti di atas memang merupakan bentuk dinamika di dunia pendidikan Muhammadiyah, yang menjadi pekerjaan rumah besar Muhammadiyah dalam menyikapi “kelonggaran dan sangat terbukanya” Muhammadiyah dewasa ini, sehingga terkesan elan vital pendidikan Muhammadiyah tidak “kempel” lagi. Khususnya “keberadaan pendidikan seni” di lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Lembaga Seni Budaya dan Olah Raga (LSBO) meskipun baru bernama lembaga dan belum menjadi majlis, sudah saatnya melakukan gerakan pemikiran kebudayaan dan kesenirupaan khususnya, yang pada saatnya nanti dapat ditelorkan hasil pemikiran tersebut melalui seminar-seminar, dialog, forum-forum budaya dan sebagainya dan tidak hanya ada “grengseng” (semangat) kalau menjelang muktamar saja. Nota tersebut, dimatangkan dengan mengundang kalangan pendidikan untuk bersama-sama berpikir, berapresiasi atas cepatnya laju kembangnya seni yang Muhammadiyah ketinggalan jauh. Sementara, di lapangan pendidikan Nasional didengungkan tentang pendidikan berkarakter, tetapi karena program tersebut bersifat “proyekal yang tidak diproyeksikan secara mendalam” maka kesan aplikasinya tak bergaung sampai hati nurani anak didik

Di lain pihak gerakan global yang bernama cyberculture, cybercomudity, cyberpsikhografi telah masuk melanda hampir seluruh lapisan masyarakat dari kalangan elit Muhammadiyah sampai kalangan bawah, pinggiran. LSBO perlu membuat nota kesepakatan kebudayaan kepada Muhammadiyah yang telah melahirkannya, tentang pesan moral melalui gerakan seni rupa yang sesuai visi misi Muhammadiyah, tanpa harus terjebak kepada bentuk visual yang monoton, seperti kaligrafisasi misalnya. Kalau hanya itu, Muhammadiyah dan seninya akan dikalahkan oleh mereka, sebab dikalangan non-Muslim juga sudah muncul kaligrafisasi dengan mengambil teks Injil misalnya.

LSBO divisi seni rupa misalnya, perlu mendalami ulang tentang makna seni rupa (Islam) dengan mengambil “spirit seni rupa mulai dari dunia Timur Tengah dengan Arabeskanya, dari Timur Jauh dengan ragam hiasnya, dari Barat dengan mengambil spirit modernitasnya dan sebagainya. Tidak mudah memang, tetapi andai di LSBO lahir konsep seni rupa ala Muhammadiyah, seni musik ala Muhammadiyah, seni tari ala Muhammadiyah, seni sastra ala Muhammmadiyah yang dinamis, bukan tidak mungkin dikalangan Muhammadiyah akan muncul perupa (seniman) modern yang menjaga spirit seni Islamnya.

Banyak seniman besar (rupa, sastra, film, musik) yang mengabdikan diri pada Muhammadiyah, semisal Amry Yahya (Allohu Yarham), Syaiful Adnan, Muhammad Diponegoro dan seterusnya. Tetapi belum ada anak-anak muda hasil didikan Muhammadiyah yang melejitkan seninya sesuai dengan spirit Muhammadiyah. Maka tidak aneh, kalau LSBO masih “malu-malu” untuk lantang menggerakkan seniman yang kompeten untuk bersama-sama menyuarakan kebenaran Islam.

Penutup

Sebenarnya manusia pada umumnya, entah Muhammadiyah beneran atau mengaku Muhammadiyah, bila tidak memungkiri hatinya dipastikan hidupnya tidak bisa lepas dengan seni (seni rupa dengan lukisan, interior, tata taman, fashion, film, desain produk, kriya dll, seni musik dengan bacaan murotal, cassette, masyid, band, karya kitaro dll, sastra dengan puisi, pantun, macapatan, essay, novelnya juga seni-seni lainnya, semisal tari dan teater). Mereka secara tidak sadar mulai bangun tidur sampai tidur lagi, selalu dipenuhi dengan “suasana rasa seni” walau mereka tidak menyadari akan kehadiran seni yang “hidup” dalam kesehariannya.

Tetapi ketika persoalan ini diangkat di forum-forum “resmi” Muhammadiyah, hasilnya menguap lagi. Mereka menolak atau diam saja, bukan karena kurangnya pengetahuan, tetapi terjebak pada belum kayanya wawasan dalam persoalan fiqih.

Ringkas simpulnya, sebenarnya hanya kurangnya wawasan dalam ber-Muhammadiyah dengan menyeluruh utamanya para pelaku pendidikan, dengan tidak mau membuka diri dengan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan hal di atas secara holistik. Selain itu, dengan hadirnya aneka jenis serbuan “cyberculture” dimuka bumi, termasuk di Muhammadiyah, para pelaku pendidikan belum siap menyikapinya dengan konsep yang jelas. Motto, pendalaman tentang pentingnya iman ilmiyah dan ilmu amaliyah tak diaplikasikan dengan baik di lapangan pendidikan.

Tetapi usaha dalam gerakan kebudayaan Muhammadiyah, dengan bentuk festival Muharram, seperti yang dilakukan LSBO beberapa tahun terakhir ini, menjadi penting sebagai pengawal perubahan dalam “mengekskusi” dunia pendidikan dan perguruan Muhammadiyah. Sebab di forum tersebut, terjadi silaturrahim, dialog atas kegelisahan-kegelisahan para peserta baik para pakar seninya atau para peserta festival. Artinya, di sana kalau ditafsirkan dengan istilah hura-hura, apalagi huru-hara, tafsir atau pandangan tersebut berarti masih terjadi kenaifan dalam ber-Muhammadiyah secara menyeluruh.

Kita berharap, semoga usaha seperti ini, tidak mengalami kejenuhan, kebosanan atau keputusasaan senyampang niat usaha untuk memajukan dunia perguruan Muhammadiyah, toh dalam istilah Kyai Dahlan “sapa nandur bakal ngundhuh”. Unduhan LSBO mungkin akan dirasakan generasi berikutnya. Biarkan unta melenguh, asalkan kafilah tidak mengeluh. Semoga. ***

Tidak ada komentar: